Survei politik telah berkembang menjadi bisnis yang memiliki prospek cerah. Uang bernilai ratusan milyar hingga triliun siap dipertaruhkan para kandidat untuk mendapat gambaran opini publik dalam pemilihan umum kepala daerah.
"Hitungan kasar dengan menggunakan indikator angka terendah saja, survei pemilukada memiliki nilai bisnis mencapai Rp 715,5 miliar," papar Agus Herta Sumarto, peneliti PRIDE Indonesia dalam Diskusi Survei Pemilukada DKI, Survei Ilmiah atau Dagang di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/7/2012).
Agus menguraikan, angka tersebut diperoleh berdasarkan beberapa indikator sederhana. Berdasarkan jumlah kabupaten/kota dan provinsi maka terdapat 530 kali pemilukada di Indonesia.
Dalam setiap ajang pemilihan biasanya terdapat antara 3 sampai 5 pasangan kandidat. Masing-masing pasangan calon biasanya membayar lembaga survei untuk menggambarkan keunggulan mereka.
Survei tersebut biasanya dilakukan minimal tiga kali dalam setahun dengan biaya per survei antara Rp 150 juta - Rp 250 juta per pasangan calon untuk level kabupaten/kota.
"Potensi ekonomi survei pemilukada kira-kira Rp 150 juta x 3 pasang kandidat x 3 kali survei x 530 kabupten/kota+provinsi = Rp 715,5 milyar," jelas Agus.
Angka-angka tersebut jelas masih bisa bertambah. Pasangan calon yang kaya, misalnya, bisa menggunakan lebih dari satu lembaga survei.
Untuk wilayah "gemuk" dengan pasangan calon yang lebih mapan, lembaga survei bisa saja memasang harga per survei yang lebih tinggi.
Dengan nilai ekonomi dan potensi keuntungan yang menggiurkan itu, tak heran bila lembaga-lembaga survei beradu dalam merebut pesanan para kandidat.
Bahkan, para peneliti pemula yang bermodal pun ikut berburu bagian survei dengan mendirikan lembaga survei baru. "Untuk menarik simpati, keilmiahan survei bisa diperdagangkan, dibisniskan," lanjut Agus.
Caranya bisa melalui manipulasi data dan merekayasa metode. Tujuannya untuk mempengaruhi opini publik dengan gambaran keunggulan calon yang memesan.
Menurut Agus, sebenarnya tidak ada larangan bagi tim pemenangan pasangan calon untuk melakukan menjalin kerjasama dengan lembaga survei.
Permasalahannya terjadi manakala hasil survei terdistorsi oleh kepentingan pemenangan pasangan tertentu.
"Tidak masalah survei bekerja sama dengan tim pemenangan. Tapi jangan direkayasa. Pahit bilang pahit, manis bilang manis," tandas Agus.
Namun, dengan iming-iming keuntungan yang besar, apakah lembaga survei dan tim pemenangan berani menyajikan hasil survei yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya?
Agus menyatakan sudah saatnya pemerintah dan lembaga legislatif menelurkan aturan dan kode etik yang bisa membatasi permainan bebas kongkalikong lembaga survei dan tim pemenangan yang bisa menipu publik.(mlk)
Sumber : Kompas.com
Langit Sore Kota Bandung
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar