Sumarsono tak putus asa ketika perusahaan tempat bekerjanya kolaps dan bubar karena krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Ia pun memutar otak mencari akal usaha apa yang harus dikerjakannya. Dengan berbekal keahliannya di bidang grafis, ia akhirnya membuat panel seni bubur kertas. Saat ini Sumarsono bisa meraup puluhan juta setiap bulannya.
"Tahun 1989, pertama kali masuk Jakarta, saya kerja di advertising outdoor. Saya di production dan grafis, ya ada basic pemahaman terhadap gambar. Tahun 1998 kolaps, bubaran semua. Ada dua tahun menganggur," sebut Sumarsono, pemilik LaxsVin Art, kepada Kompas.com dalam sebuah pameran, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia memulai mengerjakan panel seni bubur kertas pada tahun 2000. Tepat dua tahun sejak dia tidak lagi mempunyai pekerjaan. Beda dengan lukisan pada umumnya yang menggunakan kanvas dan cat, Sumarsono justru memakai panel kayu sebagai pengganti kanvas dan bubur kertas.
Bahan bekas memang menjadi pilihan sebagai bahan baku bagi karya seninya. Waktu itu, ia mengaku belum mengenal adanya kampanye peduli lingkungan atau go green. Ada beberapa bahan bekas, seperti sisa gergajian, pelepah pisang, hingga bubur kertas, yang menjadi pilihannya. Tapi bubur kertas yang Sumarsono pilih. Ia mengaku ada karakter khas yang didapatkannya dari material itu. "Dia natural," sambungnya.
Tapi, membuat karya seni dari bubur kertas ternyata tak mudah. Awalnya, ia membuat panel seni dari bubur kertas yang bentuknya dua dimensi. Desainnya pun dinamis dengan berbagai warna. Ada enam tahun Sumarsono melakukan eksperimen terhadap karya seninya. Tahun 2006, lukisannya bisa dibilang berhasil dibuat sesuai harapan. Tidak ada literatur yang menjadi panduannya. "Kita semua meraba karena kita mengembangkan suatu produk yang orang lain belum lakukan," kata dia.
Lantas, ia pun memberanikan diri menjajakan produk panel seni bubur kertasnya ke pasar kaget. Ia membuat 15 buah lukisan dengan ukuran 80x120 sentimeter. Sumarsono pun kaget karena sisa jualannya hanya lima lukisan. Saat itulah kepercayaan dirinya terbangun.
Tahun 2007, ia pun mulai diajak oleh Pemerintah Daerah tempat dia tinggal, di Bogor, Jawa Barat, untuk ikut pameran. Sejumlah pameran diikutinya. Melalui pameran, ia berinteraksi dengan pembeli yang akhirnya menghasilkan masukan bagi produknya. Dikatakannya, pembeli mengeluh harga produk yang mahal dan berukuran besar sehingga sulit dibawa perjalanan jauh. Harga lukisan memang sempat dibanderolnya Rp 1,5 juta.
Seorang pembeli asing pun mengeluhkan besarnya lukisan sehingga sulit dikemas untuk dibawa pulang ke negaranya. Dari pengalaman itu, Sumarsono berusaha mencari ukuran yang pas agar lukisannya bisa dibawa dengan mudah. Ini dilakukannya mulai tahun 2010. "Delapan buah lukisan seberat 5 kilogram. Jadi nggak berat. Kan jatah bagasi 20 kilogram di pesawat," sebutnya.
Dalam berproduksi, Sumarsono tak membuatnya semua bagian panel bubur kertas sendirian. Bahan panel dari dia, tapi pengerjaannya dilakukan oleh orang lain. Dan, tenaga kerja tetapnya hanya tiga orang. Untuk kertasnya, ia mencari kertas koran dari pengepul harian. Satu bulan, usaha panel bubur kertasnya bisa menggunakan 300-400 kilogram koran bekas. Harga belinya pun sengaja ia lebihkan. "Dari rumahan saya patok harga Rp 2.000 per 1 kilogram, walaupun Rp 1.000 mereka sudah untung," ungkap dia.
Karena biaya produksinya terbilang rendah, ia pun bisa menekan harga jual. Untuk lukisan berukuran 45X45 sentimeter, ia membanderol seharga Rp 75.000-Rp 100.000. Produksi pun bisa ribuan panel dalam satu bulan.
Ukuran yang pas diklaimnya sebagai salah satu alasan larisnya panel. Apalagi produk panelnya memang dibuat berseri atau satu rangkaian. Jadi satu pembeli biasanya tidak hanya membeli satu buah panel. "Kita kasih harga Rp 75.000 kalau beli enam buah," ucapnya. Sumarsono pun mengaku belum pernah mengambil modal dari bank selama ini.
Bila ada permintaan, maka uang muka sebesar 30 persen sudah menutupi biaya produksi sebuah pemesanan. Penjualan pun tidak hanya dalam negeri. Ekspor dilakukan Sumarsono. Tapi tidak secara langsung. Ia mengandalkan buyer dan eksportir. "Setiap pameran suka dapat buyer. Entah dari Brasil, Malaysia," tutur dia.
Dengan penjualan yang begitu gencar, omzet besar pun dihasilkan dari panel seni bubur kertasnya. Omzet terus meningkat. Dulu, kata dia, paling hanya Rp 20 juta per bulan sekarang bisa mencapai Rp 30 juta per bulan. "Dari situ nggak usah minjam. Ambil 20 persen untuk produksi," ujar dia.
Ke depan, ia menjanjikan, produk panelnya tidak akan sama. Akan ada yang berubah dalam jangka waktu tertentu. Lalu, ia akan mengenalkannya melalui pameran.
Untuk sekarang ini, pada produk panelnya, warna era-80an ia hidupkan kembali dengan dominasi oranye. Sekalipun produk panel bisa berubah motif dan ukuran, tetapi fokus pasar tetap rumah yang modelnya minimalis. Lalu, ia berusaha menggunakan warna dasar hitam. Ini dilakukannya agar produk lukisan bubur kertasnya masuk ke semua warna cat rumah.
Ia pun tidak hanya menjual produk. Tapi, dia menularkan usahanya yang ramah lingkungan melalui pelatihan. Dia sering diajak untuk menjadi pembicara dalam pelatihan. Sumarsono juga berprofesi sebagai trainer recycle paper. "Pelatihan sudah pernah saya kerjakan di NTB, Serang, Jakarta," ungkapnya.
Dari pelatihan itu, ia pun bisa mendapatkan penghasilan. Itu karena pelatihan memungut biaya. Biaya yang ditarik per orang dalam suatu pelatihan bisa mencapai Rp 2,5 juta. Semakin sedikit orang yang mengikuti dalam satu kelas, biaya pelatihan pun bisa semakin mahal. "Di situ hitung-hitungan bisnisnya ada, kenapa saya nggak ambil," sambung Sumarsono.
Ia pun tak masalah bila ada yang mengikuti produk lukisannya. Pasalnya, Sumarsono berkilah ia sudah mempunyai jam terbang yang tinggi. Lagi pula, kata dia, gaya lukisan setiap orang berbeda. "Mereka akan mengangkat budaya mereka, gambar-gambar mereka," pungkas dia.(mlk)
Sumber: Kompas.com
Langit Sore Kota Bandung
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar